oleh : Imam Supriadi
PENDAHULUAN
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 berdasarkan
pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
Dalam pidato sambutan yang disampaikan
oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang baru terpilih yakni Prof. Dr.
Anwar Nasution pada tanggal 3 Desember 2004 dihadapan para karyawan Badan
Pemeriksa Keuangan di Jakarta menyatakan untuk bertekad memberantas korupsi.
Tekad ini diharapkan dapat dilaksanakan oleh seluruh auditor yang bertugas memeriksa
tanggung jawab pengelolaan keuangan negara/daerah. Latar belakang pendidikan
beliau yang berasal dari disiplin ilmu bidang moneter dan lebih menguasai dan
atau memahami masalah fiskal, maka beliau mengharapkan kepada pemerintah yang
sekarang ini dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menerapkan
kebijakan fiskal yang transparan atau yang biasa diucapkan oleh beliau adalah
transparansi fiskal.
Tekad yang kuat dari seorang pemimpin
semacam Prof. Dr. Anwar Nasution patut kita dukung sepenuhnya apabila kita
mengharapkan pada penyelenggra negara untuk menjalankan pemerintahan secara
jujur, bersih dan transparan. Terlebih lagi pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Wujud dari kepedulian beliau merupakan
cermin dari keinginan BPK yang ingin mengupayakan jalannya roda pemerintahan
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Meski pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan belum dapat memuaskan keinginan masyarakat.
Korupsi adalah penyakit yang harus dibasmi
sampai ke akar-akarnya. Penerapan hukuman yang berat patut dijatuhkan agar
membuat jera para pelakunya. Bukan Cuma sekedar sanksi
administrasi/administratif, tapi juga sanski badan atau kurungan. Kalau sanksi
ini belum juga dianggap berat, bisa dikenakan penjatuhan hukuman mati, agar
para pelakunya atau orang yang akan coba-coba korupsi tergetar hatinya dan
takut untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sudah barang tentu lembaga yang
diharapkan sangat berperan adalah lembaga peradilan maupun lembaga kejaksaan
agung serta mahkamah agung.
Pengertian-Pengertian
Untuk
dapat memahami kedua undang-undang tersebut diatas, ada baiknya untuk memahami
pengertian-pengertian berikut ini.
Penyelenggara Negara adalah Pejabat
Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan
pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara Negara yang bersih adalah
Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan
bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela
lainnya.
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi.
Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara
Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang
lain, masyarakat dan atau negara.
Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara
secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Asas Umum Pemerintahan Negara Yang
Baik adalah asas yang menjunjung
tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan
Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara yang selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk
memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara untuk
mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Undang-Undang No. 28 dan No. 31 Tahun 1999
Sejak
diundangkan pada tanggal 19 Mei 199 di Jakarta, maka undang-undang ini mulai
berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dan Bebas Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan sejak tanggal 16 Agustus 1999.
Dasar dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah beberapa pertimbangan,
akibat dari perkembangan keadaan yang terjadi di Tanah Air. Beberapa
pertimbangan itu adalah karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945; kedua, bahwa akibat tindak pidana korupsi yang
terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
ketiga, bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsl sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan labih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi; dan keempat, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a. b, dan c perlu dibentuk Undang-undang.yang
baru tentang Pomberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keempat
dasar itulah yang menjadi bahan pertimbangan untuk menerbitkan atau
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Korupsi
sudah menjadi penyakit kronis di tengah-tengah masyarakat dan untuk itulah
diperlukan suatu undang-undang yang bisa membendung sekaligus meminimalisir
atau bahkan jika dapat menghilang dari bumi Indonesia.
Tugas pemberantasan
korupsi tidak dapat diemban sendirian oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi
dibutuhkan instansi lain, yakni selain instansi penegak hukum seperti kepolisan
dan kejaksaan, juga instansi seperti Badan Pemeriksa Keuangan.
Otonomi Daerah
Dengan
telah dikeluarkannya kebijakan baru dalam perundang-undangan, yakni
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan
pelaksanaan Otonomi Daerah, maka diharapkan untuk masa yang akan datang
pelaksanaan otonomi daerah lebih baik lagi.
Tuntutan
masyarakat untuk membangun daerahnya sendiri berdasar atas kemampuan sendiri telah
mendapat respon yang positif dari pemerintah. Untuk merealisasikan tuntutan
masyarakat itu maka pemerintah mengabulkan permintaan masyarakat di daerah-daerah
untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing berdasar atas
kemampuan sendiri, namun tetap terikat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk
melengkapi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. yakni Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah
Daerah.
Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 butir (6)
dikatakan bahwa : “Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Dampak Otonomi Daerah
Banyaknya
daerah yang ingin melaksanakan otonomi daerah yang didasarkan atas keinginan
masyarakat untuk melaksanakan pembangunan daerahnya dengan kemampuan sendiri
dan berdasarkan aspirasi masyarakat, maka bermunculanlah daerah-daerah baru
dari hasil pemekaran daerah/wilayah. Pemekaran wilayah/daerah semakin merata di
seluruh Indonesia,
sehingga daerah yang tadinya bergabung dengan pemerintahan sebelumnya kini
berubah status menjadi mandiri.
Dampak
dari otonomi daerah bukan cuma pemekaran daerah, namun juga hal-hal lain yang lebih
mencengangkan masyarakat. Dimana sebelum adanya pemekaran wilayah/daerah,
tindak pidana korupsi hanya terjadi pada tataran pusat, tetapi kini setelah
terjadinya otonomi daerah, tindak pidana korupsi telah merambah ke seluruh
daerah di tanah air.
Beberapa
waktu yang lalu kita dikejutkan dengan pengumuman Juru Bicara Istana yakni Andi
Malarangeng yang mengumumkan adanya beberapa Kepala Daerah yang diindikasikan
terlibat tindak pidana korupsi seperti Gubernur Propinsi Banten, Gubernur
Nangroe Aceh Darussalam dan beberapa Kepala Daerah lainnya, sehingga perbuatan
melawan hukum itu sudah berani dilakukan oleh aparat pemerintah daerah.
Sungguh
ironi, perkembangan yang terjadi belakangan ini membuat hati kita miris dan trenyuh, bahwa tindak pidana korupsi telah menggerogoti sendi-sendi
perekonomian hingga ke daerah.
Pelaku Korupsi
Dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 yang
termasuk pelaku tindak pidana korupsi adalah Korporasi dan Perseorangan atau
Pegawai Negeri. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) dikatakan : “ Korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum”, dan ayat (2) dikatakan : “ a. Pegawai Negeri
sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian; b. Pegawai Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; e. atau orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat”.
Selanjutnya
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang tertuang
dalam Bab IX Ketentuan Pidana, Sanksi Administratif Dan Ganti Rugi pada Pasal
34 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : “Menteri/Pimpinan
Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan
yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang
APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan
undang-undang”, dan “Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran
yang telah ditetapkan dalam undang-undang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang”.
Tindak Pidana
Korupsi
Hal
ikhwal yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam beberapa pasal
didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dimulai dari pasal 2 hingga pasal 20 masuk dalam Bab II, sedangkan hal
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Bab III dari
pasal 21 hingga pasal 24. Kemudian dalam Bab IV tentang Penyidikan, Penuntutan
dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan dipaparkan mulai dari pasal 25 hingga
pasal 40.
Terakhir
dalam Bab V tentang Peran Serta Masyarakat diatur mulai dari pasal 41 hingga
pasal 42, kemudian dalam Bab VI tentang Ketentuan Lain-Lain hanya diatur dalam
satu pasal dengan 4 ayat, yakni Pasal 43 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4). Selanjutnya Bab VII tentang Penutup terdiri dari dua pasal, yakni Pasal 44
dan Pasal 45.
Peraturan
perundangan ini ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie pada tanggal 16
Agustus 1999 dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prof. Dr. Muladi,
SH pada tanggal 16 Agustus 1999 di Jakarta.
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, menurut undang-undang nomor 31
Tahun 1999 adalah merupakan suatu bentuk kejahatan, baik dilakuan secara
sendiri maupun bersama orang atau pihak lain yang dapat mengakibatkan kerugian
negara/daerah. Selanjutnya dikatakan akibat dari perbuatan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dilihat
dari pernyataan diatas dapat dipahami sebagai hukuman yang cukup setimpal yang
dikenakan kepada pelaku tindak pidana korupsi, bahkan dapat dijatuhi hukuman
paling berat menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Landasan Hukum Badan Pemeriksa Keuangan
Badan
Pemeriksa Keuangan adalah Lembaga Tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya
terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di
atas Pemerintah. Demikian bunyi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 dalam Bab I
Kedudukan Pasal 1.
Badan
Pemeriksa Keuangan sejak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII
Tentang Keuangan pada Pasal 23 ayat (5) sebelum diamandemen : “
Untuk memeriksa tanggung-jawab tentang keuangan negara
diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan
Undang-undang”, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 (belum
diperbaharui atau diamandemen) sebagai lembaga yang berhak memeriksa keuangan
negara, baik pengelolaan maupun pertanggungjawabannya yang tercantum dalam
Pasal 2 butir (a) : “
Badan Pemeriksa Keuangan
bertugas untuk memeriksa tanggung jawab Pemerintah tentang Keuangan Negara”,
butir (b) : “Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa semua
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”, butir (c) : “Pelaksanaan
pemeriksaan seperti dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dilakukan
berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang” dan butir (d) : “Hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”, juga sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara yang disahkan pada tanggal 14 Januari 12004,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2004.
Keberadaan
Badan Pemeriksa Keuangan adalah juga berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang
telah diamandemen untuk yang ketiga kalinya tercantum dalam Bab VIII A tentang
Badan Pemeriksa Keuangan pada Pasal 23E, 23F dan 23G berbunyi sebagai berikut :
Pasal 23E :
(1)
Untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri;
(2)
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, sesuai dengan kewenangannya;
(3)
Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/ atau badan sesuai dengan undang-undang.
Pasal 23F :
(1)
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden;
(2) Pemimpin Badan Pemeriksa Keuangan dipilih
dari dan oleh anggota.
Pasal 23G :
(1)
Badan Pemriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki
perwakilan di setiap provinisi;
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa
Keuangan diatur dengan undang-undang.
Dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara Bab VIII pada Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), serta
Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan secara tegas tentang kewenangan BPK
terhadap pengelolaan keuangan negara yang biasa disebut APBN dan terhadap
pengelolaan keuangan daerah yang biasa disebut APBD. Pada Pasal 30 ayat (1)
berbunyi : “Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir”, ayat (2) : “Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi
Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan
Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan
lainnya”. Pada Pasal 31 ayat (1) berbunyi : “Gubernur/Bupati/Walikota
menayampaikan rancangan peraturan tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
kepada DPRD berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan setelah tahun anggaran berakhir”, ayat (2) : “Laporan Keuangan dimaksud
setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
daerah”.
Dalam
Peraturan Perundang-undangan lainnya, yakni
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Bab
VII Pemeriksaan Eksternal pada Pasal 71 ayat (2) berbunyi : “Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan
yang dilakukan oleh BPK menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggungjawab Keuangan Negara ada dua ayat menurut Pasal
2, yakni : ”Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan
negara dan pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara”, dan ”BPK
melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara”.
Pada Pasal 3 ayat (1) berbunyi : ”Pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara”, dan ayat (2) : ”Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh
Akuntan Publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan
tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan”.
Kemudian
untuk memperjelas dari lingkup pemeriksaan BPK, pada Pasal 4 dari ayat (1) sampai
dengan ayat (4) tercantum seperti berikut : ayat (1) ”Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”, ayat (2) ”Pemeriksaan Keuangan adalah
pemeriksaan atas laporan keuangan”, ayat (3) ”Pemeriksaan Kinerja adalah
pemeriksaan atas pengelolaaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan
aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas”, dan ayat (4)
”Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk
dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)”.
Dapat
dijelaskan disini bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan
yang selain pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas kinerja,
yakni pemeriksaan yang dilakukan terhadap pendapatan dan terhadap belanja serta
pemeriksaan yang bersifat menindaklanjuti terhadap adanya indikasi yang
mengarah pada perbuatan korupsi atau tindak pidana kourpsi. Pemeriksaan yang
berindikasi KKN adalah pemeriksaan yang dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan
rutin seperti pemeriksaan atas Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) atau pemeriksaan atas Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang disebut dengan pemeriksaan
investigasi.
Standar Pemeriksaan
Dalam melakukan pemeriksaannya BPK senantiasa
menerapkan standar pemeriksaan menurut Standar Audit Pemerintahan (SAP) yang
diterbitkan oleh BPK-RI Tahun 1995, Panduan Manajemen Pemeriksaan, dan Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Kewenangan Waktu
Melakukan Pemeriksaan
Setelah
membahas penggunaan standar pemeriksaan, BPK pun sewaktu melakukan pemeriksaan menerapkan
kewenangan sebagaimana yang dimilikinya menurut ketentuan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
seperti yang tertuang dalam Pasal 10 Bab II Lingkup Pemeriksaan, yakni : a.
Meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang
berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, b. Mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset,
lokasi dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari
entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu
dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya, c. Melakukan penyegelan tempat
penyimpanan uang, barang dan dokumen pengelolaan keuangan negara, d. Meminta
keterangan kepada seseorang, dan e. Memotret, merekam dan/atau mengambil sampel
sebagai alat bantu pemeriksaan. Dalam rangka meminta keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf d, BPK dapat melakukan pemanggilan kepada
seseorang, demikian bunyi Pasal 11.
Berpegang
pada kewenangan ini, maka kepada barang siapa yang sengaja tidak menyampaikan
dokumen yang dibutuhkan sewaktu BPK melakukan pemeriksaan atau barang siapa yang
bermaksud menghalang-halangi atau bermaksud menggagalkan pemeriksaan, maka akan
dikenakan sanksi berupa pidana dan
denda. Hal ini diatur dalam Bab VI Ketentuan Pidana Pasal 24 mulai dari ayat (1)
sampai dengan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Adapun pasal dan ayat yang
mengatur ketentuan ini adalah sebagai berikut : ayat (1 : ”Setiap orang yang
dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak
memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dipidana dengan pidana penjara palaing lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)’ ayat
(2) : ”Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi dan/atau
menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”, ayat
(3) : ”Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara
tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”
dan ayat (4) : ”Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu
dokumen yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Peran Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Pemberantasan Korupsi
Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh BPK
untuk berperan dalam pemberantasan Korupsi, yakni melakukan pemeriksaan (audit)
atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara/daerah dan turut
beraprtisipasi melakukan pelaporan atas daftar kekayaan para auditornya. Meski
agak terlambat, saat ini BPK telah menginstruksikan kepada jajaran auditornya
yang berpangkat Penata Muda Tingkat I bergolongan III/b.
Sebagai wujud kepedulian terhadap
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan
nepotisme, tak ada salahnya BPK turut berpartisipasi dalam pengisian daftar
kekayaan para auditornya. Kegunaan dari mengisi daftar kekayaan (dari para
auditornya) adalah atas dasar kesadaran dan kebersamaan untuk menciptakan
negeri yang sama-sama kita cintai benar-benar kondusif, transparan dan jujur
terhadap jumlah kekayaan yang dimiliki. Menilai orang lain bersih, sudah
sepatutnya terlebih dulu adalah diri sendiri yang bersih, sebagai cerminan
hidup yang bersih dan bisa dijadikan contoh atau teladan bagi orang yang hendak
diperiksa.
Seorang auditor yang tugas sehari-harinya
memeriksa akan lebih dihormati dan dihargai oleh auditeenya, mengingat
interaksi yang terjadi tak lepas dari godaan dan rayuan dari kedua belah pihak
terkait. Godaan dan rayuan bisa datang dari siapa saja, entah itu auditor atau
pun auditeenya. Interaksi sosial antara auditor dan auditee senantiasa diwarnai
kepentingan-kepentingan terhadap keamanan dan kenyamanan serta keselamatan dan
kesejahteraan dari individu yang terlibat.
Selanjutnya peran
yang dilakukan adalah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara/daerah. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK
selama ini memang kepada keadaan yang sudah terjadi terhadap pengelolaan
keuangan negara/daerah atau yang berkenaan dengan realisasi anggaran. Pemeriksaan
BPK didasarkan pada Undang Nomor 5 Tahun 1973 dalam Bab I mengenai Kedudukan
pada Pasal 1 menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan adalah Lembaga
Tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah, akan tetapi tidak di atas Pemerintah, dan dalam Bab II tentang Tugas, Kewajiban dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan pada
Pasal 2 sebagai berikut :
1.
Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa
tanggung jawab Pemerintah tentang Keuangan Negara;
2.
Badan Pemerksa Keuangan bertugas untuk memeriksa semua
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Bealanja Negara.
Sebenarnya
pemeriksaan pengelolaan keuangan negara/daerah bisa juga diterapkan pada
pemeriksaan anggarannya, karena jika hal ini dilakukan adalah suatu langkah
maju pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Bukan suatu yang haram dikerjakan
oleh BPK seandainya kebijakan ini juga diterapkan. Hal ini bisa dikatakan semacam melakukan
pencegahan sejak dini akan terjadinya tindak pidana Korupsi. Gembar gembor yang
selama ini didengungkan oleh BPK adalah hendak memberantas KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), sehingga gaungnya begitu menggema di telinga masyarakat. Namun
apa daya keinginan masyarakat belum bisa sepenuhnya terpenuhi, karena tekad dan
keinginan BPK rupanya dijawab dengan berita yang mengagetkan masyarakat bahwa
perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri maupun orang lain, merugikan
keuangan negara/daerah dan menguntungkan kelompok atau korporasi, telah
dilakukan oleh para Kepala Daerah dengan melakukan tindak pidana korupsi.
Para pejabat daerah yang sudah dijatuhi
hukuman maupun yang baru diindikasikan korupsi membuat deretan panjang masalah
di negeri ini. Sendi-sendi perekonomian sudah demikian parah keadaannya. Belum
usai krisis ekonomi melanda Indonesia, tiba-tiba krisis yang lebih memperparah
perekonomian Indonesia, yakni kasus korupsi.
Untuk itu peran BPK ke depan bukan hanya
memeriksa realisasi anggaran namun juga memeriksa anggarannya. Dengan tujuan
sebagai shock terapy, agar penyakit itu dideteksi sejak awal disusunnya anggaran.
Pengertian disini bahwa BPK bukan bertindak ‘over protective’ ikut terlibat
menyusun anggaran, tetapi untuk mengetahui perihal atau maksud dianggarkannya
suatu kegiatan/proyek, kenapa dianggarkan sekian-sekian, dan apa perlunya
anggaran itu diadakan.
Penyusunan
anggaran yang dilakukan oleh Panitia Anggaran bukan sebagai jaminan
tidak adanya praktek-praktek kolusi, korupsi maupun nepotisme. Sebagai orang
yang sehari-hari menjalankan kegiatan pengelolaan keuangan setidak-tidaknya
dapat menggoda hati nuraninya untuk melakukan pelanggaran walau sekecil apapun.
Dalam penyusunan anggaran bukan suatu hal yang mustahil kalau ada permainan
atau kolusi antar instansi terkait, yakni antara pemerintah daerah melalui biro
atau bagian keuangan serta sekretariat dewan/dewan yang menjadi panitia
anggaran untuk meluluskan atau memuluskan rencana anggaran yang diajukan oleh
pemerintah daerah.
Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal ini
belum dan atau tidak mengantisipasi latar belakang penyusunan anggaran ini.
Badan Pemeriksa Keuangan hanya melakukan pemeriksaan terhadap anggaran yang
telah direalisasikan dalam bentuk Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Surat
Pertanggungjawaban (SPJ) itu adalah dokumen atau berkas yang bisa berupa
buku-buku, lembaran-lembaran, baik itu kuitansi maupun alat bukti lainnya.
Ketika SPJ itu yang berupa laporan
keuangan diketahui berindikasikan korupsi, maka yang berhak melakukan
penyidikan adalah lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi atau
disingkat KPK. Dalam hal ini BPK untuk menindaklanjuti temuan yang
berindikasikan korupsi bisa diteruskan dengan Pemeriksaan Investigasi, yakni
dengan landasan yang cukup memenuhi unsur-unsur korupsi dan sudah pasti
mengenai angka-angkanya.
Beberapa prestasi BPK yang menyebutkan
adanya dugaan korupsi di beberapa daerah yang dilakukan oleh aparatur negara,
seperti Gubernur, Bupati maupun Walikota atau oleh pihak terkait telah memuat
daftar panjang di beberapa media masa daerah maupun media massa nasional.
Selain itu media penyiaran semacam televisi juga telah menyiarkannya melalui
siaran berita atau fokus berita (masing-masing siaran televisi mempunyai versi
dan nama tersendiri untuk penyebutan siaran beritanya).
Terungkapnya kasus korupsi di Propinsi
Banten yang dilakukan oleh Gubernur merupakan hasil kerja BPK di
daerah/Perwakilan III DKI, terungkapnya kasus korupsi di Sumatera Barat
(Padang) yang dilakukan oleh anggota dewan yang terhormat adalah hasil kerja
BPK Perwakilan I Medan (Sumatera Utara), terungkapnya kasus korupsi di Lampung
yang dilakukan oleh anggota dewan yang terhormat adalah hasil kerja BPK
Perwakilan II Palembang (Sumatera Selatan).
Kasus-kasus korupsi yang dilakukan anggota
dewan terjadi pada tataran penyalahgunaan anggaran yang biasanya dilakukan
berupa Perjalanan Dinas Fiktif, Biaya Penunjang Kegiatan Operasional Dewan,
Perbaikan Tunjangan Penghasilan dan Tunjangan Purna Bhakti. Selain itu
pelanggaran yang dilakukan adalah penyalahgunaan biaya tunjangan perumahan
dinas, yang seharusnya diberikan dalam bentuk uang sewa bagi mereka yang belum memiliki
rumah jika pengadaan rumah dinas belum tersedia.
Bagi Badan Pemeriksa Keuangan, kasus-kasus
yang diungkapkan adalah kasus-kasus yang menonjol dan sangat siginifikan serta
material dari segi kualitas maupun segi kuantitas. Bagi Badan Pemeriksa Keuangan
kasus semacam ini banyak terjadi hampir
di tiap daerah dan sepertinya merata dimana-mana.
Lain di Dewan lain pula di Pemerintah
Daerah. Di Pemerintah Daerah pelanggaran yang terjadi pada tataran Biaya
Penunjang Operasional Kepala Daerah, Perjalanan Dinas Fiktif, pelaksanaan
pekerjaan proyek/kegiatan jalan dan jembatan, gedung dan bangunan, serta
penyalahgunaan wewenang/jabatan. Penilaian pelanggaran ini juga didasarkan atas
masalah yang sangat signifikan atau material, baik kualitas maupun kuantitas.
Pemerintah Daerah termasuk juga anggota
Dewan sepertinya sudah kompak dan serempak dalam melakukan
pelanggaran-pelanggaran diatas. Itulah fakta.
Pemeriksaan Berindikasi KKN
Pemeriksaan yang mengarah pada Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana diinginkan oleh Undang-Undang Momor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pemeriksaan yang
diharapkan oleh masyarakat agar tercipta penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme sebagaimana diharapkan oleh
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas Dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme harus benar-benar dapat dijawab
oleh BPK. Harapan yang begitu besar berada di pundak BPK, melalui aparatur
pemeriksanya atau auditornya. Auditor inilah yang berperan di lapangan untuk
mengetahui keadaan atau kondisi pengelolaan keuangan yang mengarah pada
perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, serta
merugikan keuangan negara/daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir (1) sampai dengan
butir (17) bila di cermati dengan seksama dan benar, maka akan diperoleh suatu
petunjuk yang jelas dan dapat dijadikan panduan untuk memahami pasal-pasal
berikutnya. Apa dan bagaimana keuangan negara/daerah itu berdasar Ketentuan
Umum tersebut dirangkai dengan Pasal 2 lebih menegaskan lagi makna keuangan
negara/daerah. Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (5) maupun ayat (6) berbunyi :
”Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN”, dan
”Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD”.
Pemeriksaan yang berindikasikan KKN sangat
diharapkan oleh Pimpinan BPK, karena semangat reformasi yang ada pada pimpinan
BPK untuk dapat menjawab tuntutan masyarakat, agar BPK dapat mengungkap dan
menjerat pelaku tindak pidana korupsi.
Pada Pasal 2 hingga Pasal 20 sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bab II tentang
Tindak Pidana Korupsi di salah satu pasalnya menjelaskan bahwa : “ Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kemudian pada pasal berikutnya
juga dijelaskan tentang hukuman yang lebih berat dapat dikenakan pada pelaku
tindak pidana korupsi yakni hukuman mati. Bunyi pasal itu adalah : ” Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
Sanksi atau hukuman telah jelas diatur dalam ketentuan
tersebut, tetapi berkenaan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK masih
merujuk pada ketentuan yang menetapkan perbuatan korupsi dengan empat unsur,
yakni adanya perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau pihak
lain, memperkaya diri sendiri atau pihak lain, serta merugikan keuangan
negara/daerah.
Seputar penyebutan korupsi dengan empat unsur masih
menjadi perdebatan di internal BPK, karena dari empat unsur tadi harus terpenuhi,
baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi.
Jika melihat isi atau materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya tidaklah terlalu
sulit mendefinisikan pengertian perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri
sendiri atau pihak lain, memperkaya diri sendiri atau pihak lain, serta
merugikan keuangan negara/daerah.
Terlepas dari perdebatan tentang penilaian korupsi yang
harus memenuhi empat unsur, menurut undang-undang yang ada sangat banyak diatur
dalam pasal-pasalnya. Seperti contoh diatas, contoh lain pada Pasal 4 dikatakan
bahwa : ”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3”.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa jenis-jenis
pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas
kinerja, juga pemeriksaan atas pendapatan dan belanja. Sebagai tindak lanjut
dari hasil pemeriksaan tersebut BPK dapat melakukan penelusuran atas
bukti-bukti awal menyangkut kebenaran, keabsahan atas data-data dan informasi
yang berindikasi KKN. Pabila ditemukan perbuatan yang mengarah kepada pidana
atau perbuatan melawan hukum, maka hasil dari investigasi tersebut selanjutnya
diserahkan kepada pihak kepolisian dan/atau pihak kejaksaan. Penyampaian
sebagaimana dimaksud tercantum dalam Pasal 14 Bab III Pelaksanaan Pemeriksaan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
Contoh Kasus
Kamis, 15 September 2005 21:02:00
(Republika Online)
Kejati Tetapkan Empat Tersangka Kasus
Korupsi Bitung
Manado-RoL
-- Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara
(Sulut) telah menetapkan sedikitnya empat tersangka dalam dua kasus korupsi
di Kota Bitung, dari enam kasus hasil laporan masyarakat, kata Juru Bicara
Kejati Sulut, Rein Tololiu.
Sedikitnya
ada enam kasus yang ditangani Kejati berkaitan dengan laporan tersebut,
dimana dua sudah masuk dalam tahap penyidikan, sementara empat
masih dalam tahap penyelidikan, kata Tololiu, Kamis di Manado, Sulut.
Tololiu mengatakan, dalam tahap penyidikan masing-masing proyek TV Bitung
senilai Rp7 miliar dengan tersangkanya SM, seorang Pimpro serta proyek
pemecahan ombak senilai Rp4 miliar dengan tiga orang tersangka yakni
ALT ( Pimpro) , JA Direktur PT Tri Eka Cipta serta AW, Direksi lapangan.
Kejaksaan masih terus melakukan pengembangan penyidikan terhadap kedua kasus
tersebut, dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersangkanya akan bertambah.
Kejaksanaan belum menahanan keempat tersangka tersebut sebab
untuk melaksanakannya diatur dalam KUHAP, seperti tersangka ingin melarikan
diri atau menghilangkan barang bukti.
Penilaian sementara tidak ada indikias keempat tersangka itu untuk
melariarikan diri atau menghilangkan barang bukti, tetapi ini semua tidak
akan menutup kemungkinan sewaktu-waktu dilakukan penahanan.
Tololiu mengatakan, sementara empat kasus lainnya masih dalam tahap
penyelidikan masing-masing, dugaan penyimpangan pengadaan buku paket
pendidikan untuk siswa Sekolah dasar hingga Sekolah Menengah Atasa tahun
2004, dugaan Mark Up pembelian anah lokasi Gedung Kesenian, dugaan proyek
fiktif pembangunan jembatan di Girian Bawah dan dana lobi penetapan Bitung
sebagai kawasan Free Trade Zone. ant/pur
|
Penyebab
Dari serangkaian kasus-kasus yang diungkap
diatas adalah terjadi karena kelemahan manajemen/pengelolaan, kelemahan
pengawasan dan keteledoran atau adanya unsur kesengajaan.
Lemahnya Sumber Daya Manusia seperti yang
diakui oleh Pemerintah Kabupaten X, membuktikan bahwa apa yang selama ini
dicermati oleh BPK memang sangat merisaukan. Betapa tidak, dari kasus-kasus
yang ditemui memang menyangkut kelemahan seperti pengakuan Pemerintah Kabupaten
X, bukan sebuah fenomena baru, tetapi adalah suatu keadaan yang perlu dibenahi
oleh Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Penyebab itu datang dari internal maupun
eksternal pemerintah daerah.
Penyebab dari internal pemerintah daerah
adalah : kurang tersedianya SDM yang cukup memadai, seperti kurangnya tenaga
Akuntan, kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan, kurangnya
koordinasi antar unit organisasi maupun koordinasi antara bawahan dan atasan,
kurangnya pelatihan terhadap pengetahuan peraturan perundangan dan/atau
pelatihan akan ketrampilan untuk mengelola anggaran secara baik dan benar,
penerapan kebijakan yang salah atau keliru dari atasan atau pimpinan (atasan
pada unit organisasi atau pimpinan Kepala Daerah), penempatan pegawai yang
tidak pada tempatnya (terutama pada unsur pimpinan unit organisasi). Namun
selain penyebab yang tersebut, adanya penyebab karena memang sengaja
mengabaikan aturan atau ketentuan yang berlaku atau dengan kata lain sengaja
melanggar aturan atau ketentuan yang berlaku, meski perbuatan itu akan dapat
mengakibatkan kerugian keuangan negara/keuangan daerah.
Penyebab dari eksternal pemerintah daerah
adalah datang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD. DPRD, karena
terdiri dari berbagai partai politik, maka tak lepas dari kepentingan dari para
elit politik yang ada di dewan maupun kepentingan dari induk organisasi
politiknya. DPRD yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah pada Bab IV Penyelenggaraan Pemerintahan, Bagian Kelima
tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang terdapat pada Paragraf Kesatu,
Umum, Pasal 41 : ”DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawsan”,
tidak memilki komitmen yang kuat untuk melaksanakan tugas/amanat yang
diembannya dari rakyat. Bersama aparatur pemerintah, DPRD (baca : anggota
Dewan) turut melakukan pelanggaran. Bentuk pelanggaran yang dilakukan
diantaranya adalah melakukan perjalanan fiktif (SPPD fiktif), mencairkan
tunjangan kesehatan (Tunjangan Kesejahteraan) yang seharusnya dibayarkan dengan
premi asuransi (baca : Polis Asuransi). Dengan demikian fungsi utama dari
Pengawasan menjadi tidak berjalan. Ini baru sebagian kecil ilustrasi dari
penyebab eksternal pemerintah daerah yang dilakukan oleh DPRD.
Pembenahan Yang Harus Dilakukan
Untuk mengatasi problema tersebut diatas,
kiranya harus ada tindakan yang konkret bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah, yakni harus melakukan upaya-upaya perbaikan segala cara, seperti
penyegaran pengetahuan dalam hal administrasi maupun pengelolaan keuangan,
penataran dan pelatihan kemampuan pengelolaan keuangan. Selain itu hal yang tak
kalah pentingnya adalah pembenahan rekruitmen Sumber Daya Manusia, penempatan
dan juga mutasi yang bersifat promosi jabatan maupun penyegaran yang berupa
perpindahan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya. Inilah pekerjaan yang
maha penting dan perlu ditindaklanjuti.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa
BPK dalam melakukan pekerjaan besar dan berat harus mampu menjalankan tugas
sesuai dengan keinginan undang-undang dan juga keinginan masyarakat. Berikut
adalah kesimpulan dari uraian diatas :
a. Korupsi adalah penyakit yang harus dibasmi
sampai ke akar-akarnya;
b. Tindak pidana korupsi
sangat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga
harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; kedua, bahwa akibat tindak pidana
korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang
menuntut efisiensi tinggi;
c. Pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
diundangkan sejak tanggal 16 Agustus 1999;
d. Tugas
pemberantasan korupsi tidak dapat diemban sendirian oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, tetapi dibutuhkan instansi lain, yakni selain instansi penegak hukum
seperti kepolisan dan kejaksaan, juga instansi seperti Badan Pemeriksa Keuangan;
e. Setelah terjadinya otonomi daerah, tindak
pidana korupsi telah merambah ke seluruh daerah di tanah air;
f. Pelaku Korupsi telah terjadi dilingkungan
Korporasi maupun dilingkungan Pegawai Negeri;
g. Pelaku Korupsi dapat dikenakan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
serta denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
h. Pelaku Korupsi dapat juga dikenakan
hukuman berat berupa hukuman mati;
i.
Peran
BPK begitu penting dalam upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
karena BPK memilki kewenangan yang diatur dalam undang-undang;
j.
Peran
BPK selain melakukan pemeriksaan, juga turut menganjurkan para auditornya untuk
melaporkan daftar kekayaan yang dimiliki, selain para pejabat strukturalnya;
k. Korupsi terjadi di semua daerah dan merata
setelah era otonomi daerah diberlakukan;
l.
Pengungkapannya
kepada masalah yang sangat siginifikan atau material, baik kualitas maupun
kuantitas;
m. Banyaknya kelemahan/kekurangan pemahaman
terhadap peraturan perundangan maupun kemampuan untuk mengelola keuangan secara
baik dan benar.
Saran-Saran
Dari uraian yang telah disampaikan hingga
diperoleh kesimpulan, maka untuk menjawab hal-hal tersebut diatas timbul
saran-saran sebagai berikut :
a. Pemerintah Daerah harus serius menangani
kelemahan dalam pemahaman peraturan perundangan dan juga pembenahan dalam
rekruitmen pegawai, seperti perencanaan, penyeleksian, penempatan,
pendistribusian, pelatihan pekerjaan/jabatan, penjenjangan karier melalui
promosi jabatan, regulasi kepegawaian dan peningkatan kesejahteraan dalam
sistem penggajian dan tunjangan jabatan (fungsional maupun struktural);
selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah penghargaan atas prestasi dan
hukuman atas pelanggaran peraturan perundangan.
b. Pemerintah Pusat harus lebih bijak lagi
mencermati kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah dan segera melakukan langkah-langkah
perbaikan ke depan dengan cara melakukan pengawasan pengelolaan dan
pertanggungjawaban anggaran lebih ketat yang mengarah kepada unsur efisiensi,
efektivitas, ekonomis, transparansi serta akuntablel.
c. Penyebab Internal maupun Eksternal yang
mempengaruhi jalannya kegiatan pemerintahan berupa pengawsan maupun koordinasi
dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar