kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
- Chairil Anwar-
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
AKULAH SI TELAGA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya
HATIKU SELEMBAR DAUN
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Oleh :
Sobron Aidit
Kenapa tak dari dulu
kenapa tak dari dulu
setelah nyaris habis aus
kering-kerontang terperas ludas
kini campakkan jauh-jauh
agar bersih dari sejarah?
Padahal kenaikan pangkat puluhan jenderal
penuh berlumuran darah
penuh berlumuran rupiah.
Sejak tiga windu
puluhan ribu
kau ciptakan para janda
dan yatim-piatu
kau gelapkan gundukan kuburan
seolah tak ada apa-apa
yang dulu mereka pernah hidup di Jakarta
dan di tanah-tanah yang masih sentosa.
Kaukatakan pelurusan sejarah
padahal semata penggelapan
kelabu dan penghitaman.
Korban-korban dari banyak pihak
saksi bisu yang bisa bersaksi
yang dari dulu menuntut hak
tapi kini kau campakkan yang dulu kau rebut
walaupun tak bisa-bisa
walaupun dengan darah dan jiwa.
Kenapa tak dari dulu
kenapa tak dari dulu
Timor Timur dalam peta
kecil bagaikan biji semangka
atau sebutir beras basmati
dunia telah banyak belajar darinya
dan kau keok dihajarnya
oleh orang-orang hitam yang hatinya putih
yang gagahnya dan beraninya mendunia
justru kini mereka sedang membangun sejarah!
Paris 4 Februari 1999.-
DAFTAR INGATAN
Oleh :
Sobron Aidit
Kebakaran besar seakan takkan lagi terjadi
kebakaran kecil di mana-mana muncul
hutan - makhluk - tambang,terbias ludas
penderitaan - kesengsaraan - lamat-lamat tapi menyerap
menenggelamkan yang ada
yang masih bertahan
Kaisar Cendana yang dulu selalu senyum
sudah sama dirasakan betapa semua itu selalu mengancam
garangnya api - buasnya binatang - kejamnya watak serdadu
berbaur selama puluhan tahun
selama itu pula kita saling bertengkar
bahwa dia baik, dia baik, bapaknya pembangunan
dan kini apa yang tampak?
apa yang masih bersisa?
Kesengsaraan Rakyat kita
kemiskinan dan kebodohan terus tak mau hilang
sudah dua tiga generasi dia permalukan
sedangkan keturunannya sibuk dan saling rebutan
menumpuk - menyembunyikan - memindahkan harta kekayaan
sibuk membikin - merencanakan - mengerjakan
bagaimana menciptakan kebakaran-kebakaran baru
membuat huru-hara kecil huru-hara besar
biar dirinya dan keluarganya selamat
sedang diri kita dijadikannya puntung-puntung yang sia-sia
atau jadi abu dari api yang dulu menempa pabriknya
betapa mereka pernah pongah-angkuh
sedang kita pernah terkulai-lunglai di bawahnya
lalu lupakah kita
sedang di antara kita pernah merasa bangga
bila dekat-dekat
dan bisa sedikit-sedikit walaupun rada-rada menjilat
pabila bisa termasuk lingkungan orang-orang kuasa Cendana?
Lalu kini apakah bisa kita katakan
api kebakaran lama dulu itu sudah mau padam?
Sedang sebenarnya kebakaran-kebakaran kecil
sama-sama kita saksikan yang sana-sini pada muncul
yang bila kita biarkan seperti dulu
bisa-bisa kita dibakarnya lalu menjadi abu
sedang mereka terus membangun istana-istana baru
di atas pekuburan kita
di atas pekuburan para keluarga dan teman-teman kita.
20 Juli 98.-
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948) Siasat, Th III, No. 96 1949
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Posted 5:59 AM by camar
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
Posted 5:58 AM by camar
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Posted 5:57 AM by camar
MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
Posted 5:57 AM by camar
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
Posted 5:53 AM by camar
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Sunday, May 25, 2008
Bang
Fitri. Ia bukan perempuan luar biasa. Perempuan berpupur ini hanyalah seorang penjaja diri di bekas komplek prostitusi Kramat Tunggak.
Sebuah tugas jurnalistik telah menghantarku ke komplek itu di suatu hari, menjelang malam yang larut. Dua botol bir dan kacang asin, menemani obrolan kami sampai jauh malam, sebelum aku pamit.
”Mau kembali ke kapal, besok sudah harus berlayar,” kataku sekenanya. Jujur, aku hampir kehabisan akal saat Fitri memaksa aku tinggal lebih lama dan melanjutkan obrolan di tempat lain.
Sebetulnya kisah ini sudah mengendap begitu lama di ingatan. Ia muncul kembali setelah aku tertumbuk pada sebuah obituari. Ali Sadikin berpulang.
Kramat Tunggak dan Ali Sadikit adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Mantan Gubernur DKI Jakarta itulah sosok yang membangun komplek yang dulu berpagar beton tinggi mengangkang itu.
Di tangan Bang Ali—demikian pensiunan Marinir itu akrab dipanggil, pelacuran dilegalisasi dan dilokalisasi. Demikian pula dengan perjudian.
Olehnya, Jakarta pun menggeliat dengan duit-duit yang mengalir dari bisnis “haram” itu. Rakyat menikmati Jakarta yang bak lampu Aladin, bersolek seusap tangan.
Banyak orang yang mencela dan mencemooh Bang Ali. Tapi, di Kramat Tunggak aku bisa sedikit memahami alam pemikirannya. Pelacuran bukanlah persoalan gampang, sebab ia sudah ada sejak manusia ada.
Bagi Bang Ali, lebih baik pelacuran itu dilokalisasi. Agar ia tak menyebar ke tempat lain. Dan agar ia pun bermanfaat bagi banyak orang.
Di Kramat Tunggak ada ribuan orang yang menangguk rupiah untuk kehidupannya. Mulai dari para penjaja kenikmatan, sampai mereka yang bergantung pada bisnis makanan, penginapan, dan sebagainya.
Saat Kramat Tunggak digusur, ada banyak orang yang bersujud syukur. Tapi ada banyak orang pula yang merasakan dunia seperti terbalik. Mereka kocar kacir, seperti beras tumpah dari tampah.
Tak hanya kehilangan mata pencaharian, itu juga menyebabkan persoalan-persoalan lain. Para penjaja kenikmatan tak lagi terkontrol. Bibit penyakit kelamin pun mengancam tak terkendali lantaran tak ada lagi yang memeriksakan kesehatan secara rutin,
Itu baru satu di antara segunung persoalan, bak tiada habisnya.
Pada akhirnya, Kramat Tunggak pun berlalu, sebagaimana Bang Ali berlalu bersama waktu. Ia menyerah di saat rakyat negeri ini bertabur harap pada sebuah kebangkitan bersama, sebelum terkubur lagi bersama harga BBM yang menjulang.
Ia berpulang di saat negeri ini mulai kehilangan sosok-sosok pemimpin yang bisa menyelami perasaan rakyatnya. Ia menjadi contoh yang berbeda, yang sayangnya, tak sempat kita nikmati lebih lama.
Ia berpulang ke suatu tempat yang sudah menantinya. Tapi kota yang ditinggalkannya, sedang berjalan ke tempat, yang entah di mana ujungnya. Ke bentuk, yang entah apa rupanya.
Bisa jadi ia kelak adalah kota megah bertabur bintang-bintang. Tapi bisa jadi pula ia akan tinggal reruntuhan belaka, seperti tembok Kramat Tunggak itu.
CAMAR
Wednesday, April 16, 2008
Sahabat Pergi
Kabar itu tiba
Menyentak dini hariku yang sibuk
“Ded, gw gak tau lo udah denger kabar ini atau belum. Lisa Lukman sudah meninggalkan kita semua, wafat kemarin 14 apr 08 jam 3 subuh”.
Jantungku seperti berhenti berdetak
Sedih, haru, terkejut,
bercampur seperti
adonan mati yang tak bisa diperikan
Lisa,
sahabatku itu
Perempuan yang selalu hadir di pesan instannya:
Gadis kecil di depan jendela
Suatu kali mengejutkanku
di ruang maya
setelah lama tak terdengar kabarnya
Masih ceria dia
masih sama nada suaranya
tapi pertanyaannya membuat heran:
“Gue mau menyepi Ded, kemana ya?”
Entah beban apa yang ditanggungnya..
Tapi malam itu aku tak punya jawab
Komunikasi yang terputus membuatku tak berani banyak bicara
Malu
Selaku sahabat, lalai aku bertanya kabar
Sepertinya dia ingin banyak bercerita
Tapi keadaan membawanya pergi terburu
Kini semua bak terlambat
Gadis itu sudah menutup daun jendela selamanya
Air mata pun tak bisa menjawab sesal
Maaf, sahabatku sayang
Kuyakin kau sudah bertemu Dia yang kau rindu
Sosok yang membuatmu selalu tegar
Kala kau tergugu
Berbahagialah
Camar pada Lisa
Kebayoran, 01.00 WIB
Tuesday, April 08, 2008
In Loving Memory
Sosokmu tiba membayang..
Bertahun sudah engkau pulang
Ke tempat di mana kini engkau bahagia
Hari ini.. dulu..
Tangis itu membuncah
Saat tubuh kakumu terbujur
Hati bertanya: mengapa?
Tapi, kini tak ada ratap untukmu
Sebab ku yakin, bahagia telah jadi milikmu
Sedang kami, tergugu pada tubuh fana ini
Ibuku, gembalaku,
Penunjuk jalanku
Yang menarikku dari jurang gelap
Membawaku terbang ke angkasa
Belajar terbang
dan terbang sebagai hidup
Chiang.. yang membuatku menjadi jonathan.
Ah, ibuku
tangisku dulu
Adalah saat kusadari
tak ada lagi orang
yang memiliki hati
seluas hatimu
Kau satu-satunya Chiang bagiku
dan kini kau pergi
meninggalkan ketiadaan
Tapi, hidup mesti berlanjut bukan?
Meski tak ada lagi chiang..
bahkan--seorang pun tak bisa menggantimu- -
Tapi aku adalah jonathan
Di belakangku ada camar-camar lain
Menanti untuk belajar terbang
Aku mesti terbang di atas sayapku sendiri
Bila berlindung
Satu-satunya adalah pada kepak sayap Dia
Chiang kita yang sesungguhnya. .
bukan lagi pada manusia
camar
7 April 2008
Bogor
Sunday, January 27, 2008
Pak Tua Mangkat
Pak Tua ngantuk..
Istri manis menunggu..
istirahatlah..
Pak tua sudahlah..
Engkau sudah terlihat lelah.. o ya..
Pak tua...
Sekelumit lagu yang pernah ngetop pada era 1900-an itu tiba-tiba menggema saat kabar kematian Soeharto tiba di ponselku. Sulit menggambarkan perasaan yang timbul sesaat setelah kabar itu datang.
Yang jelas, seorang anak manusia sudah berpulang.
Entah dimana jiwanya kini berada,
Di dunia kematian? Atau dibawa ke samping Tuhan
Hanya Tuhan yang tahu
Soeharto? Bagaimana merunut gambarannya dalam hidupku?
Dulu,
Sosok itu pernah memenuhi ruang pikiran kanak-kanakku
baik dan mengagumkan.
Bapak pembangunan, kata buku-buku sekolahku.
Sosok yang sama kemudian memenuhi ruang hati remajaku
Hati yang membara, dalam kemarahan
Tangan terkepal, mulut berteriak lantang
“Turunkan Soeharto!” “Turunkan Soeharto!”
Kemarahan kami berbayar lunas
nyawa meregang
darah tertumpah
Harga untuk sebuah reformasi (tepat sehari setelah ulang tahunku)
Darah yang kemudian terlupakan
Tak pernah jadi pahlawan!
Lalu kematian Soeharto?
Entah bagaimana menggambarkan perasaan ini, ketika kabar itu datang. Aku sedikit bingung.
Tapi, sontak aku tersadar.
Itu cuma sebuah kenyataan tentang perjalanan hidup seseorang
Tak lebih dan kurang.
Seperti kelak aku dan kau.
Seperti saat iring-iringan jenazah berlalu di udara Jakarta
Lalu bersemayam di bumi Astana Giribangun..
Berlalu pulalah kisahnya.
Kisah, seorang manusia bernama Soeharto.
Begitu saja.
Seperti kelak aku dan kau
Sebelum lagu Pak Tua habis dari anganku
Aku berlalu dan melangkah..
Membimbing jemari mungil, sang penerus hidupku
“Masa lalu biar berlalu, nak!” kataku berbisik di telinganya.
Masa bapak itu sudah habis..
Kisahnya sudah tuntas
Biarkan buku sejarah dan kenangan
yang menyimpannya, sampai kemudian punah usang.
“Tapi kaulah masa kini dan masa depanku,” kataku lagi pada gadis kecil itu, Sebelum kaki kami melangkah pergi, bersisian meski sesekali dia tersandung.
Kami pun tertawa.
Camar
Thursday, January 03, 2008
Natal
Sebab Natal terjadi di kandang kumuh
Bukan di istana Herodes
atau bait-bait suci para Imam
yang berbalut tembok-tembok megah
Natal bukan di ruang gerlap gemerlap pusat perbelanjaan
Bak-bak bertumpuk menawarkan potongan harga
Bukan di ruang-ruang suci gereja megah
Dengan pondok aneh
Pondok kayu tapi palsu
Teronggok sepi di pojokan
Dengan boneka terbalut kain wangi
Bukan di ruang-ruang rumah
Pohon plastik warna-warni di ruang tamu
Lampunya kerlap-kerlip
Dan sisipan salju kapas nan lucu
Natal bukan pula hidangan enak di permukaan meja
Harum memancing lapar dan selera
Natal itu adalah kemiskinan
Pertandanya sebuah kandang berbau kotoran
Hitam, coklat, dan pupus
Lampin penutup pun sederhana
Bahkan, yang terbuang dari yang tak diinginkan
Natal hadir dalam kesunyian
Malam penuh penolakan
Sekedar tempat membaringkan tubuh nan letih
Kaki berselaput debu
Sebuah perjalanan panjang ayah dan ibu
Tak ada gemerlap lampu kerlap-kerlip
Atau gemintang hiasan warna-warni
Pun lagu-lagu semarak
yang membuat hari Natal begitu berisik
Sedikit wewangian dan kemewahan
adalah hadiah-hadiah dari trio orang bijak
dari jauh membawa sukacita
Natal adalah kemiskinan
Saat sang Penguasa
mengambil rupa seorang hamba
Sang Pemilik Hidup
Mengambil tubuh serba terbatas
Menyusu pada tetek ibu
Merangkak pada lutut
Bahkan berbuang hajat di popoknya
Tapi yang miskin itulah yang membawa damai
Bukan damai senyap haru dan tenang
Tapi damai dari seteru
Damai dari kutuk
Damai dari yang terusir
Berdamai kembali dengan Tuhan
Setiap orang tak lagi menjadi seteru-Nya
Lewat kemiskinan Natal,
setiap orang berhak pulang ke Taman Eden
Menikmati kekayaan baru
Kekayaan yang tak dapat dibandingkan dengan apapun
Kekayaan itu adalah pengampunan
Kekayaan itu adalah kesempatan
Kekayaan itu adalah harapan
Kekayaan itu adalah pemulihan
Kekayaan itu adalah hidup yang kekal
Maka benarlah kata Firman:
“Berbahagialah mereka yang miskin
Sebab merekalah empunya Kerajaan Surga”
Selamat Hari Natal!
Dari Sorga, damai telah hadir di Bumi
- Camar -
Tuesday, November 27, 2007
Di Mana
Tertunduk melangkah
dengan kaki gemetar
Pasi dengan kerut-merut di sekujur tubuh?
Menapak sejengkal demi sejengkal
lorong-lorong itu
Seulas senyum diberi
Bagi siapa saja yang menegur
Atau sekedar tanya
meski dia tahu cuma basa-basi
Di mana pernah ku ingat tubuh ringkih itu
Berdiri di sudut ruang
bersuara lirih
nyaris tak terdengar
Kerap juga tak perduli
pada bisik-bisik gemerisik
atau seru si kurang ajar
yang bikin onar?
Bapak tua guru renta
Di mana pernah kulihat?
Bukankah dari masa laluku
Di antara tiang-tiang koridor
Bilik-bilik kelas nan rapuh
Dari lubang-lubang di dinding
atau gema dinding bisu
Kusam pada warna yang termakan waktu
Sekolahku dulu?
Sepimu kurasa sampai kini
bau kapur putihmu terhidu sampai di sini
Walau kemarin,
Kudengar engkau telah pergi
Membawa kisahmu sendiri
Jadi sejarah atau sekedar melalu?
Biarlah kami tanya pada hati sendiri
Camar, 28 November 2007
Untuk Guru
Monday, November 26, 2007
Pada Samudera
di mana Ombak tercampak
terderai lamat-lamat
sebelum pulang
menjadi buih
Di manakah cinta terkoyak?
Pada alam yang tak lagi bisa dipercaya?
Pada lautan
di mana kepalsuan terpapar
Di kejauhan indah sungguh
Tapi membuatku hampir muntah
Teralun pada gelombang
Geliat yang tersamar
bila kau tak mendekat
Mungkinkah bersetubuh
antara harapan malam ini
dan kenyataan pagi esok
Ketika diam kaki
Keluh hati
pada bumi yang gonjang
pada tangis anak kami
malam ini
Pada samudera
yang berganti rupa
Ketika cintanya pada pulau dan pantai
dicuri angin gemintang di langit
atau awan-awan yang membawa bencana
Pada malam
hari-hari penantian
Hati yang tak sabar
anak-anak kami yang tak mau mengerti
Atau tungku yang senyap
seperti hati ini
Camar, 26 November 2007
Oleh-oleh dari Buton, Sulawesi Tenggara
Cemara ~ Chairil Anwar
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Chairil Anwar
1949
Malam Di Pegunungan ~ Chairil Anwar
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Chairil Anwar
1947
Malam ~ Chairil Anwar
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Chairil Anwar
Zaman Baru, No. 11-12; 20-30 Agustus 1957
Karawang-Bekasi ~ Chairil Anwar
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (194
Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957
Di Masjid ~ Chairil Anwar
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila
~ Chairil Anwar
Yang Terampas Dan Yang Putus ~ Chairil Anwar
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Chairil Anwar
1949
Persetujuan Dengan Bung Karno ~ Chairil Anwar
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Chairil Anwar (194)
Liberty, Jilid 7, No 297, 1954
Maju ~ Chairil Anwar
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Chairil Anwar
Februari 1943
Penerimaan ~ Chairil Anwar
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Chairil Anwar
Maret 1943
Dengan Mirat ~ Chairil Anwar
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu
Chairil Anwar
1946
Diari Seorang Papa ~ Mya Marja
melangkah kata makna
terjerut hutang berjela
lantaran tuntutan dunia
yang melangit segala harga.
Aku lelaki lara
terlontar di gurun gersang
kehidupan
dan aku makin kontang
kering diterik duga
segala uji kulihat derita
namun tak sanggup mengemis lara.
Biar kulangkahi harapan
dengan perit nan dalam
tewas bukan pengakhir jalan.
MYA MARJA
Bandar Seri Jempol, NS
Gurindam Dambaan Insani
biar kudinginkan jiwa meronta.
Hulurkan aku secubit kasih
menyebar belas takkan tersisih.
Tebarkan padaku sejambak simpati
harumlah nanti membujuk hati.
Kurela hadirnya semangat membara
tak gusar kutempoh hangat sang lara.
Sinaran ikhlas pada malam meminjam
merajai siang hingga aku terpejam.
Mutunya pada kesucian cinta
walau dipinta tak terjangkau tinta.
NOR AFIQAH MOHD SIDEK
Senawang, Negeri Sembilan.
Dari Benua Cinta Penyair ~ Kemala
ke tanah bertuah bangsa
selepas setengah abad
mencecapi makna merdeka
1
Dari Benua Cinta penyair kujelang Tanah Bertuah Bangsa
Kuendapkan kelezatan maknawi mencecapi setengah abad
merdeka.
Merdeka hakiki, merdeka hayati, merdeka batini, merdeka
kecubung
Mimpi berpalang, belenggu keroyokan asing
Empat-setengah abad. Kami adalah bulan putih, matahari
Bersinar membinari hidup. Kami adalah
Kedaulatan pertama. Ilahi merestui dan mematrai
Selaksa gurindam, bergugusgugus doa kudus.
Dari Benua Cinta Penyair
Ke Tanah Bertuah bangsa. Kami membaca
Hikayat Delima Derita
Dengan liangliang sukma kami
Dibantai pelurupeluru bandit.
Kami menempeli lembaran yang robek dimakan bubuk
Dan anaianai. Merbau dan Kruing, Nibung dan Petaling
Kami pikul dari belantara gelap kini tertancap di dadamu
Seribu tiang seri Rumah Warisan
Monumen Keprihalan pahlawanpahlawan kecil
Tak bernama, hilang tak kembali di malam kemerdekaan
Yang gerimis. Ada desis mendesis tiba,” Kami hilang tapi
Roh kami tetap mengusap tiap jalur, bulanbintang panjipanji
Itu tubuh, darah dan kalbu kami. Kami gugur
Demi maruah pribumi dan daulah para leluhur!”
II
Selepas setengah abad terdampar, di hadapan kalian kini
Limapuluh album lusuh. Tangan mulus srikandi mana
Bakal mengelus dan menyeka debudebu musim
Menyusun, mengitar, mengawet potret tua pada sudut
Album baru yang sahih. Ada yang kelabu, ada yang
tercetaicetai
Terperangah dicakar serigala lapar. Ada kebenaran yang
Tetindih dan ada sukma wangi dihunjami tangkulak.
Aduh, dimanakah Jiwa anggun dahulu, Kekasihku?
Aku menerjang ke malammalam sepi yang panjang.
Aku menggali wilayah karang tajam di dasar laut dalam
Ini pancaroba. Ini kerikil tasbih ditampar taufan.
Rindu apakah ini Kekasihku? Qasidah tajalli benangnya
Rohani. Nasyid dan Ghazal, Seloka dan Pantun
Bersatu dengan dendam berkurun. “Kembalikan Diri
Yang terpenjara, dicambuk mungkar Karun
Sebelum padam api kemerdekaan anggun!
Dari Benua Cinta Penyair, ke Tanah Bertuah Bangsa
Selepas mencecapi Makna Merdeka
Angin tanah air berkesiur, “Ini kemerdekaan,
Ini kunci iman, Rindu Keanggunan, bara hasrat
Yang kugenggam dari binar tujuh cakrawala,
Bak Cinta kasmaran menembusi tujuh lapis bumi
Lalu kucanai Kunci Firasat, Kunci Makrifat
Kunci Hakiki,
Kunci Kasih
Kunci Rohani!
KEMALA
Kuala Lumpur, 10 Mac 2007
( DEWAN BUDAYA Mei 2007 )
Dari Lingkungan Hidupnya Anak-anak Belajar
Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan
Ia belajar menentang
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi
Ia belajar jadi penyabar
Jika anak dibesarkan dengan dorongan
Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian
Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan
Ia akan terbiasa berpendirian
~ Dorothy Law Nolte
Kulit ~ Abdul Rahim Idris
Belum tentu
Yang hodoh itu jahat
Belum tentu
Yang cantik itu baik
Jangan lihat pada kulit
Belum tentu
Yang hodoh itu baik
Belum tentu
Yang cantik itu jahat
Jangan lihat pada kulit
Belum tentu
Belum tentu
Belum tentu
Abdul Rahim Idris
19 October 2003
Makna Sebuah Titipan ~ WS Rendra
bahwa :
sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Allah
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti
matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
~ WS Rendra
Pakaian Baru (Buat Abang) ~ Kamal Sujak
Tuhan telah membukakan
pintu hatinya untuk kembali
menanggalkan pakaian semalam
yang penuh terpalit noda hitam
di almari kenangan.
Lalu bersungguhan dia menguncinya
dengan keimanan
agar tidak lagi terlanjur sesalan.
KAMAL SUJAK
Cyberjaya, Selangor
31 Julai 2007
Selamat Malam Bandung ~ Kemala
Antara romantisme gunung
dan hiruk pikuk trafikmu
puisi dilontar dan dihantar ke podium
di melenium inipun
rahwana menggerogoti sinta
dan rama meruap api cemburunya
Tembang demi tembang
penyair ingin keluar dari sarung leluhurnya,
menjeritkan
‘kami bukan si malin kundang’
menolak ragu dan sesal
kami adalah syurga dan neraka sekaligus
tepuk dan bujuk
asyik yang bermata sepuluh
Kutatap lembah suburbia
singgah singkat di galeri salasar dan popo
garis, pecahan kaca atau wanita telanjang
warna abstraksi dan galauan
dan siratan magisme, kecapi ottih
“negeri abadi” dan tatapan
para leluhur menenggang duka
patah kendali. bandung yang sesak
hijau, hijau alpokat, jeruk dan salak
angkot ribut mendesakdesak
sayup sampai, pluit kereta api singgah dari jakarta
atau yang tadi dari surabaya, mata yang layu, tangan
yang jenuh
kelapa muda dan farid maulana
meramu jeans levis strauss
buku puisi, mukena dan jerembab kembang
mimpi sulit datang, meremang liar, souveniers
puisi dan penyair, metafora magistik
bergantungan di langit.
Selamat malam bandung
azan dari masjid firdaus
serap seni, daif diri, bangkrut budaya
huyung-hayang bulan tak bersari
jeriji maut dan angin bangkit abad
tanah yang dilelang, seringai paman doblang
di kuburnya, petani gaduh merana dan lusuh
para dewa menggewangi ladang rampokannya.
Dari titik ke titik
dapatkah puisi merambah duka maha insani
antara tidak apa-apa, nol dari fungsi
suara menopang telatah. desis dan bisik
‘tidak apa-apa’ kita adalah kekosongan dan
kekosongan itu kita!
heran, kata-kata hilang magisme
dia masih terus menulis dan sedia
untuk tidak apa-apa
walhal seni memertabat insani
bulan putih, violet yang diturunkan
tuhan dari syurga kekuasaanNya
selamat malam bandung
kota kembang tak jemu-jemu bersenandung.
KEMALA
Bandung-Jakarta
April 2002
(Ziarah Tanah Kudup 2006:82-83)
Pantun Sepuluh Kerat
Seluar gunting petani
Jahitan nyonya kampung Erah
Di hilir pasar Kampung Melaka
Singgah di rumah nahkodanya
Batang emas dahan suasa
Buahnya intan dengan padi
Bunga diisap burung merak
Pipit hendak hinggap di rantingnya
Adakah boleh oleh yang punya
Fikiran Dan Samadi ~ Khalil Gibran
Keindahan menghadirkan dirinya dengan duduk di atas singgahsana keagungan; tapi kami mendekatinya atas dorongan Nafsu ; merenggut mahkota kesuciannya, dan mengotori busananya dengan tindak laku durhaka.
Cinta lalu di depan kita, berjubahkan kelembutan ; tapi kita lari ketakutan, atau bersembunyi dalam kegelapan, atau ada pula yang malahan mengikutinya, untuk berbuat kejahatan atas namanya.
Meskipun orang yang paling bijaksana terbongkok kerana memikul beban Cinta, tapi sebenarnya beban itu seiringan bayu pawana Lebanon yang berpuput riang.
Kebebasan mengundang kita pada mejanya agar kita menikmati makanan lazat dan anggurnya ; tapi bila kita telah duduk menghadapinya, kita pun makan dengan lahap dan rakus.
Tangan Alam menyambut hangat kedatangan kita, dan menawarkan pula agar kita menikmati keindahannya ; tapi kita takut akan keheningannya, lalu bergegas lari ke kota yang ramai, berhimpit-himpitan seperti kawanan kambing yang lari ketakutan dari serigala garang.
Kebenaran memanggil-manggil kita di antara tawa anak-anak atau ciuman kekasih, tapi kita menutup pintu keramahan baginya, dan menghadapinya bagaikan musuh.
Hati manusia menyeru pertolongan ; jiwa manusia memohon pembebasan ; tapi kita tidak mendengar teriak mereka, kerana kita tidak membuka telinga dan berniat memahaminya. Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita sebut gila lalu kita tinggalkan.
Malampun berlalu, hidup kita lelah dan kurang waspada, sedang hari pun memberi salam dan merangkul kita. Tapi di siang dan malam hari, kita sentiasa ketakutan.
Kita amat terikat pada bumi, sedangkan gerbang Tuhan terbuka lebar. Kita memijak-mijak roti Kehidupan, sedangkan kelaparan memamah hati kita. Sungguh betapa budiman Sang Hidup terhadap Manusia, namun betapa jauh Manusia meninggalkan Sang Hidup.
~ Khalil Gibran
Menyatu Dalam Cinta
Para tabib menyarankan bedah, “Sebagian darah dia harus dikeluarkan, sehinggu suhu badan menurun.”
Majnun menolak, “Jangan, jangan melakukan bedah terhadap saya.”
Para tabib pun bingung, “Kamu takut? padahal selama ini kamu masuk-keluar hutan seorang diri. Tidak takut menjadi mangsa macan, tuyul atau binatang buas lainnya. Lalu kenapa takut sama pisau bedah?”
“Tidak, bukan pisau bedah itu yang kutakuti,” jawab Majnun.
“Lalu, apa yang kau takuti?”
“Jangan-jangan pisau bedah itu menyakiti Layla.”
“Menyakiti Layla? Mana bisa? Yangn dibedah badanmu.”
“Justru itu. Layla berada di dalam setiap bagian tubuhku. Mereka yang berjiwa cerah tak akan melihat perbedaan antara aku dan Layla.”
~ Jalaluddin Rumi (Masnawi)
‘Mati’ sebelum Engkau Mati ~ Jalaluddin Rumi
(’Mati’ sebelum Engkau Mati)
Kau sudah banyak menderita
Tetapi kau masih terbalut tirai’
Karena kematian adalah pokok segala
Dan kau belum memenuhinya
Deritamu tak kan habis sebelum kau ‘Mati’
Kau tak kan meraih atap tanpa menyelesaikan anak tangga
Ketika dua dari seratus anak tangga hilang
Kau terlarang menginjak atap
Bila tali kehilangan satu elo dari seratus
Kau tak kan mampu memasukkan air sumur ke dalam timba
Hai Amir, kau tak kan dapat menghancurkan perahu
Sebelum kau letakan “mann” terakhir…
Perahu yang sudah hancur berpuing-puing
Akan menjadi matahari di Lazuardi
Karena kau belum ‘Mati’,
Maka deritamu berkepanjangan
Hai Lilin dari Tiraz, padamkan dirimu di waktu fajar
Ketahuilah mentari dunia akan tersembunyi
Sebelum gemintang bersembunyi
Arahkan tombakmu pada dirimu
Lalu ‘Hancurkan’lah dirimu
Karena mata jasadmu seperti kapas di telingamu…
Wahai mereka yang memiliki ketulusan…
Jika ingin terbuka ‘tirai’
Pilihlah ‘Kematian’ dan sobekkan ‘tirai’
Bukanlah karena ‘Kematian’ itu kau akan masuk ke kuburan
Akan tetapi karena ‘Kematian’ adalah Perubahan
Untuk masuk ke dalam Cahaya…
Ketika manusia menjadi dewasa, matilah masa kecilnya
Ketika menjadi Rumi, lepaslah celupan Habsyi-nya
Ketika tanah menjadi emas, tak tersisa lagi tembikar
Ketika derita menjadi bahagia, tak tersisa lagi duri nestapa…
(Mawlana Jalal ad-Diin Rumi)
Kembali Pada Tuhan ~ Jalaluddin Rumi
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!
Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepadaNya!
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
kerana Tuhan, dengan rahmatNya
akan tetap menerima mata wang palsumu!
Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja.
Begitulah caranya!
Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayuhlah datang, dan datanglah lagi!
Kerana Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepadaKu,
kerana Akulah jalan itu.”
~ Jalaluddin Rumi
Empat Lelaki Dan Penterjemah ~ Jalaluddin Rumi
Jalan ~ Jalaluddin Rumi
Jika menyimpang darinya,
kau akan binasa.
Jika mencuba mengganggu tanda-tanda jalan tersebut,
kau melakukan perbuatan syaitan.
~ Jalaluddin Rumi
Siapa Di Pintuku? ~ Jalaluddin Rumi
Jawabku,”hamba-Mu yang lata,”
Katanya, “urusan apa yang kamu punya?”
Jawabku, ” ‘tuk mencumbu-Mu ya Rabb,”
Katanya,”berapa lama bakal kau kembara?”
Jawabku,”sampai Kau cegat daku,”
Katanya,”berapa lama kau didihkan di api?”
Jawabku, “sampai diriku murni,”
“Inilah sumpah cintaku
Demi Cinta semata
Kutinggalkan harta dan kuasa.”
Katanya, “kamu buktikan kasusmu
Tapi, kamu takpunya saksi,”
Kataku,”Tangisku, saksiku
wajah pasiku, saksiku,”
Katanya, saksimu takpunya sahsiah
matamu membasah ‘tuk dilihat.”
Jawabku,”atas kerahiman, adil-Mu
Mataku cerah dan tanpa salah,”
Katanya,”Apa yang kaucari?”
Jawabku, “Kamu! ‘tuk jadi rekan dampinganku,”
Katanya, “apa yang kamu mau dariku,”
Jawabku,”Kemuliaan, kemesraanmu,”
Katanya,”Siapa teman sekembaramu?”
Jawabku,”Ingatan kepada-Mu, O Sang Raja,”
Katanya, “Apa yang membuatmu ke mari?”
Jawabku,”Kelezatan anggur-Mu,”
Katanya, “Apa yang membuatmu puas?”
Jawabku, “Dampingan-Mu Sang Maharaja”
Katanya,”Apa yang kamu temui di sini?”
Jawabku, “Seratus keajaiban,”
Katanya,”Mengapa istana ditinggal porakperanda?”
Jawabku,”Mereka takutkan perampok,”
Katanya, “Siapa perampok itu?”
jawabku,” Seseorang yang lari dari-Mu,”
Katanya,”Tidak adakah keselamatan di situ?”
Jawabku,”Dengan hadirnya Cinta-Mu,”
Katanya,” Apa faedah yang kamu terima dari kehidupan?”
Jawabku,”Dengan jujur kepada diriku,”
Kini masa untuk menyepi.
Kalau kukatakan padamu tentang intisari sebenarnya
Kau bakal terbang, dirimu akan sirna
Dan tiada pintu, tiada bumbung dapat menarikmu kembali.
JALALUDDIN RUMI
( IN THE ARMS OF BELOVED)
Terjemahan: Dato Dr Ahmad Kamal Abdullah (Kemala)
Bahagia Sejenak ~ Jalaluddin Rumi
kamu dan aku duduk di serambi
kita dua, tapi satu roh, kamu dan aku
kita rasa aliran air kehidupan di sini
kamu dan aku dengan keindahan taman
dan burungburung bernyanyi
bintangbintang menatap kita
dan kita menanyakan mereka
‘gimana mau menjadi bulan sabit kecil
kamu dan aku bukan diri, bakal menyatu
takberasingan, betapa spekulasi kamu dan aku.
tiong syorgawi bakal retakkan gula
waktu kita tertawa bersama, kamu dan aku
dalam satu bentuk di muka bumi ini
dan dalam bentuk lain di bumi manis
di kebebasan waktu yang tak tecatat
JALALUDDIN RUMI
Kuliyyat-e Shams, 2114
Terjemahan: Dato Dr Ahmad Kamal Abdullah (Kemala)
Tanpa Cinta, Segalanya Tak Bernilai
Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari. Mereka merupakan bintang-bintang di langit agama yang dikirim dari langit ke bumi. Demikian pentingnya Penyatuan dengan Allah dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.
Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan. Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira bagaikan sekumpulan kebahagiaan. Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ? Sang lili berbisik pada kuncup : “Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati. Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam pertanyaan : “Bukankah Aku ini Rabbmu ?”
Petikan dari Jalaluddin Rumi : “Kisah Keajaiban Cinta”
Tertutuplah Pintu- Bahasa ~ Jalaluddin Rumi
pada sepanjang hidup kami,
sentuhan sang Jiwa pada tubuh kami.
Air laut memohon mutiara
agar memecahkan cengkerangnya.
Dan bunga Lili, sepenuh nafsu
menunggu Kekasih yang liar!
Ketika malam, kubuka jendela
kupinta bulan datang bertandang
dan membenamkan wajahnya pada wajahku.
bernafas ke dalam diriku.
Menutup pintu-bahasa
Membuka jendela-cinta.
Bulan yang tak memerlukan pintu
ia hanya rindu jendela yang terbuka.
~ Jalaluddin Rumi
Setelah Setahun Kesunyian ~ Jalaluddin Rumi
dan mengetuk. Ada suara bertanya, “Siapa di sana?”
Dia menjawab, “Ini Aku.”
Sang suara berkata, “Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu.”
Pintu tetap tertutup
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, “Siapa di sana?”
Dia berkata, “Inilah Engkau.”
Maka, sang pintu pun terbuka untuknya.
~ Jalaluddin Rumi
0 komentar:
Posting Komentar